Sorotan utama
- Jayanto Tan lahir dengan nama Tan Seng Lie di Indonesia, saat rezim otoriter Presiden Suharto
- Pada tahun 60-an, Suharto membawa serangkaian kebijakan yang mendiskriminasi etnis Tionghoa Indonesia
- Jayanto melarikan diri pada akhir tahun 1997 ke Australia, dimana kini ia menjadi seniman visual terkenal
Kini Jayanto Tan bisa mengatakan dengan lantang bahwa dirinya bangga dengan latar belakang campurannya.
Wawancara selengkapnya :
Artis asal Indonesia Jayanto Tan di Australia

Wawancara dengan Jayanto Tan tentang kehidupannya
23:38
Di tahun 1970-an ketika dia dikenal sebagai Tan Seng Lie – atau Ali – dan tinggal di Bandar Tinggi, sebuah desa terpencil di Sumatera Utara, Indonesia, ceritanya sangatlah berbeda.
Jayanto lahir pada tahun 1969 pada masa rezim otoriter Presiden Suharto, dari seorang ibu beragama Kristen asal Sumatera dan ayah Tiongkok pemegang kepercayaan Taoisme asal Guangdong.

Jayanto Tan's family photo, Sembayang Ceng Beng (Tomb-Sweeping Day) Tebing Tinggi, 1977. Credit: Jayanto Tan
Seorang guru di sekolah dasarnya harus memilih 'nama Indonesia' agar ia dapat diterima di sekolah tersebut. Dari sinilah, 'Yanto' lahir.
"Identitas saya dibuat berdasarkan persyaratan dari Suharto," ujarnya.
'Saya diperlakukan dengan berbeda'
Ketika Suharto berkuasa pada tahun 1965 setelah terjadinya kudeta, ia memberlakukan sejumlah kebijakan yang mendiskriminasi etnis Tionghoa Indonesia yang telah tinggal di negara itu selama beberapa generasi.
Salah satunya adalah memaksa warga untuk mengubah nama Cina mereka menjadi nama yang 'lebih Indonesia'.
Tetapi intimidasi tidak berhenti bahkan setelah Jayanto memiliki nama baru yang lebih 'dapat diterima'.
Saya tidak boleh di-spotlight di sekolah.Jayanto Tan
"Saya tidak boleh menaikkan bendera. Yang boleh hanya yang mayoritas saja,” kenang Jayanto, menambahkan bahwa penampilan fisik membuat dirinya terhitung sebagai minoritas.
“Saya dipanggil ‘Cina’, dipanggil ‘banci’".
Jayanto mengatakan bukan hanya orang-orang di kampungnya saja yang menggunakan julukan ini, tetapi juga orang-orang di Jakarta, kota dimana ia pindah setelah sekolah menengah untuk belajar akuntansi.
Akhirnya, Jayanto menemukan jalan hidup yang lebih baik dengan lari ke Australia pada akhir tahun 1997.
Dia menganggap dirinya beruntung karena bisa datang ke Sydney pada Desember 1997 – lima bulan sebelum kerusuhan massa dan kekacauan yang dipicu oleh krisis ekonomi menyebabkan pengangguran dan kekurangan pangan memuncak pada bulan Mei.
Ketika itu orang Tionghoa Indonesia menjadi sasaran karena kekayaan mereka yang membuat orang beranggapan bahwa mereka adalah bagian dari rezim korup Suharto.

Jayanto Tan's work as a Finalist North Sydney Art Prize 2022, Ritual Gathering Ceng Beng, North Sydney, 2022. Credit: Document Photography
Tidak lagi dibungkam
Menurut Jayanto, pertama kali ia merasakan 'kebebasan' adalah ketika pada suatu hari ia berjalan-jalan di Oxford Street di Sydney. Yang membutanya terkejut, tidak ada yang memanggilnya dengan nama julukan.
Merasa ditindas sepanjang ia dapat mengingat, Jayanto mengaku dirinya terbiasa dibungkam dan hanya menampilkan satu bagian saja dari dirinya: sebagai orang Indonesia.
“Menjadi multikultural di jaman Suharto itu tidak boleh,” ucapnya.
Diperlakukan secara berbeda saat di kampung halamannya dulu, Jayanto masih malu dan takut untuk menunjukkan identitas aslinya saat pertama kali datang ke Australia.
Hingga suatu hari teman-temannya di sekolah mengatakan dengan pasti bahwa dirinya adalah keturunan Tionghoa.
Saat itu, Jayanto menyadari bahwa di negara ini boleh saja menjadi orang Indonesia berdarah Tionghoa - dan dia memutuskan untuk menunjukkannya.
Menjadi penyuka seni sejak masih kecil di Sumatera, butuh waktu bagi Jayanto untuk akhirnya memutuskan bahwa ia akan berkonsentrasi pada seni pahat untuk mengekspresikan emosinya yang tertekan.
“Saya teriak lewat seni,” ujar Jayanto, yang kemudian mempelajari seni selama tujuh tahun di Australia.
“Yang dulu tidak boleh saya katakan, sekarang saya katakan.”
'Kita adalah semua warna itu, kita itu indah'
Karya pahatan Jayanto berpusat pada 'jajanan pasar', atau apa yang dijelaskannya sebagai 'makanan pinggiran yang tidak diperhatikan orang' - sama seperti dirinya.
Karya keramiknya hadir dalam warna-warna yang cerah, menampilkan keunikan identitasnya.
“Warna-warni di karya saya itu menunjukkan warna kulit orang,” ungkap si perupa, yang mengakui bahwa pandemi COVID merupakan saat paling efektif baginya untuk berkarya.
"Mereka berdiri bersama dengan indahnya - hitam, putih, coklat, kuning, merah muda, hijau.
“Jadi ketika orang melihat karya saya dan bilang 'oh, indah sekali'; nah, kamu harus berpikir bahwa ketika orang berkumpul bersama, kita adalah semua warna itu, kita itu indah.
“Itu pesannya.”

Jayanto Tan's 'Acute Actions: Responses to I am Not a Virus' Project Exhibition at 4A Centre for Contemporary Asian Art, Haymarket, Sydney, 2021. Credit: KAI-WASIKOWSKI
‘Selalu ada di hatimu'
Telah terlibat dalam berbagai pameran di Australia dengan mendapat banyak pujian, Jayanto mengatakan bahwa kehidupan yang saat ini ia jalani adalah 'mimpi masa kecil yang menjadi kenyataan'.
“Saya memiliki mimpi bahwa suatu hari nanti saya pasti bisa membanggakan keluarga saya, bahwa saya bisa diterima di dunia,” ujar pemenang Georges River Sculpture Prize dan kompetisi keramik Sydney Royal Easter Show tahun 2021 itu.
"Jadi, saya tidak membalas dendam meskipun saya dulu ditindas. Trauma saya adalah sesuatu yang indah."
Bangga menyebut Australia sebagai rumah barunya, perupa ini mengatakan dirinya tidak membenci tanah airnya atau juga masyarakatnya.
“Jangan karena kamu dibenci sama pemerintah kamu, terus kamu lupa sama keluarga kamu, sama negara kamu," ujar Jayanto tegas.
"Kamu lahir di negara yang itu. Negara kita lahir itu adalah tempat yang sangat indah karena kita tidak bisa pilih. Itu adalah kenyataan kehidupan kita."
Sejauh-jauhnya kamu pergi, walaupun warna kulitmu di-bleaching, atau kamu jadi blonde, atau pakai soft lens, di dalam hati kamu selalu ada kebudayaan orang tua kamu.Jayanto Tan
Dulu ketika masih di Indonesia, Jayanto biasa menghabiskan Tahun Baru Imlek dengan mendengarkan lagu-lagu Tiongkok favorit orang tuanya di rumah.
"Tapi kami tidak boleh keluar karena kami tidak mau dipanggil sebagai 'Cina'," tambahnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, setelah orang tuanya meninggal dan karena saudara kandungnya tersebar di seluruh dunia, Jayanto merayakan acara khusus tersebut melalui pameran seni dan berkumpul dengan sesama seniman.
Untuk Tahun Baru Imlek 2023, Jayanto akan menjadi tuan rumah 'Potluck Party' - pertunjukan pembuatan makanan dari tanah liat kering - di Maitland Regional Art Gallery di Hunter Valley pada bulan Januari.