Bulan ini umat Muslim di seluruh dunia menjalani bulan suci Ramadhan, bulan puasa yang dipercaya sebagai bulan penuh keberkahan.
Aktivitas di masjid pada umumnya meningkat, dengan ibadah sholat dan berbuka puasa lebih banyak diadakan di masjid dibandingkan saat di luar Ramadan, termasuk di masjid-masjid di Selandia Baru.
Agam Jaya Syam, the Trustees Chairman of the Al-Ameen Mosque in Wellington, New Zealand mengatakan bahwa Ramadhan tahun ini jelas berbeda dibandingkan tahun lalu.
"Yang paling signifikan adalah banyaknya tokoh masyarakat yang ingin datang untuk buka puasa bersama," ungkap Mr Syam pada SBS Indonesian melalui pesan teks, menyebut tokoh gereja dan anggota parlemen sebagai beberapa diantara yang datang.
Dua bulan telah berlalu sejak insiden berdarah mengguncang Selandia Baru dimana terjadi penembakan di dua masjid di Christchurch, Masjid Al Noor dan Linwood Islamic Centre pada 15 Maret.

Members of the Muslim community enjoy the Iftar, the evening meal, at Al Noor Mosque on May 11, 2019 in Christchurch, New Zealand. Source: Kai Schwoerer/Getty Images
Ibnu Sitompul adalah seorang siswa pendidikan Phd bidang hukum di University of Canterbury di Christchurch. Pada saat penembakan di masjid Al Noor terjadi, ia baru saja memarkir mobilnya dan berjalan ke arah masjid.
"Nggak sampai semenit saya sudah [akan] masuk ke area parkiran dalam masjid," ujarnya. Ia ikut lari menjauhi masjid saat melihat banyak orang yang berlarian ke luar masjid.
Terkait dengan perbedaan yang dirasakan antara Ramadan tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya, Ibnu mengatakan bahwa kali ini ada lebih banyak lagi umat yang datang beribadah di Masjid Al Noor saat sholat Tarawih dan juga sholat Jumat, bahkan hampir dua kali lipat.
Ibnu mengatakan bahwa menurutnya ketakutan tidak lagi dirasakan oleh sebagian umat Muslim di Selandia Baru.
"Justru malah mereka menunjukkan support gitu, jadi pada datang ke masjid," ujarnya.
Penjagaan di sekitar masjid-masjid di seluruh negeri itu juga masih diberlakukan.

In this Saturday, March 23, 2019 file photo, Worshippers prepare to enter the Al Noor mosque following last week's mass shooting in Christchurch, New Zealand. Source: AAP Image/AP Photo/Mark Baker
Selain dua orang polisi, Ibnu mengatakan bahwa setiap sholat Jumat masjid juga pasti dijaga oleh beberapa warga setempat.
"Ada lima atau enam warga lah.. tetangga-tetangga sebelah masjid atau yang datang dari luar, yang non-Muslim, yang datang ke situ menjaga orang Jumatan," ungkap Ibnu.
Hal senada disampaikan oleh Agam Jaya Syam, yang mengatakan bahwa di depan Masjid Al-Ameen di Wellington juga ada mobil polisi yang standby selama waktu berbuka dan tarawih.
Dr Nelly Martin Anatias, seorang Muslim yang juga a lecturer at the Auckland University of Technology's School of Language and Culture mengatakan hingga saat ini semua masjid di Auckland dijaga oleh polisi. 24 jam sehari, tujuh hari seminggu.

Police officers stand guard outside the Linwood mosque during Friday prayers in Christchurch on May 3, 2019, ahead of the holy month of Ramadan. Source: SANKA VIDANAGAMA/AFP/Getty Images
Ia mengatakan bahwa warga setempat terkejut dengan langkah pengamanan ini karena mereka merasa Selandia Baru adalah negara yang aman, tetapi memaklumi langkah ini sebagai bentuk perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah Selandia Baru.
"Kami merasa pemerintah Selandia Baru dan masyarakat sekitar kami sangat baik dan sangat melindungi kami jadi kami pergi ke masjid atau untuk beribadah sudah tidak ada perasaan was-was lagi," ungkap Dr Nelly.
"Waspada tetap, tapi kami sudah tidak merasa terancam seperti bulan lalu."
Bagi Irfan Yunianto, seorang korban penembakan dan mahasiswa PhD di Universitas Otago, pelaksanaan ibadah Ramadhan pasca tragedi ini tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya.
"Barangkali yang sedikit terasa perbedaannya adalah adanya beberapa jamaah yang kini jika ke Masjid harus menggunakan kursi roda atau tongkat untuk berjalan, disebabkan luka tembak saat tragedi tersebut," ujarnya pada SBS Indonesian. "Juga tentunya masih ada rasa kehilangan terhadap saudara aau teman yang dulu biasa pergi bersama ke masjid, namun kini mereka telah tiada."
Irfan berada di dalam masjid Al Noor ketika penembakan terjadi. Insiden itu memiliki dampak yang mendalam baginya dan dia tidak lagi ingin membahas detail penembakan itu. Terakhir kali ia membahasnya adalah saat membuat pernyataan polisi.
Berharap untuk dapat move on dari peristiwa itu, Irfan menghadiri pertemuan victim support, yang juga memberikan dukungan psikologis yang penting.
"Saya baru saja datang ke pertemuan dukungan korban kemarin sore [29/5]," ujarnya.
"Beberapa jamaah pria dan wanita menyatakan kegelisahan dan trauma yang mereka alami hingga kini cukup mengganggu aktivitas sehari-hari," Irfan melanjutkan. "Mereka yang trauma parah biasanya selain [karena] kehilangan anggota keluarga atau kerabat, juga adalah yang kontak langsung dengan pelaku penembakan."
51 orang tewas dalam tragedi penembakan yang terjadi saat sholat Jumat pada bulan Maret lalu. Salah satunya adalah warga Indonesia bernama Lilik Abdul Hamid, seorang insinyur yang selama 16 tahun terakhir bekerja untuk Air New Zealand.

Irfan Yunianto was inside the Al Noor mosque in Christchurch when the shooting happened. Source: Facebook: Irfan Yunianto
Ibnu Sitompul yang tinggal di Christchuch sejak tahun 2016 juga mengenal dekat keluarga korban. Ia mengatakan bahwa hubungan masyarakat Muslim Indonesia di Christchurch 'semakin didekatkan' pasca tragedi penembakan Christchurch.
"Kalau dulu satu atau dua kali saja ada pengajian atau buka bersama. Tapi kalau sekarang ini sudah.. sekarang aja sudah yang kelima ya," ujarnya.
"Kami masih sering membicarakan peristiwa penembakan kemarin.. atau mengenang yang meninggal..
"Saya juga setiap Sabtu Minggu ke rumah almarhum Pak Lilik untuk menemani ibu.. Jadi sering ngumpul.. Saya rasa lebih solid lagi malah."

Ibnu Sitompul was less than a minute away from the Al Noor mosque's entrance when the shooting took place. Source: Supplied